Tuesday, October 6, 2015

Bisnis Proses Tambang Batubara-Mining

1. Aktivitas dimulai dengan penentuan lokasi yang mengandung potensi bahan tambang,    kemudian menganalisa bahan – bahan tambang.

2. Melakukan Interpretasi citra landsat (peta) dan foto udara, pemetaan geologi regional dan peninjauan, serta mengambil sample dan analisa lab.
   
3. Melakukan pemetaan geologi secara lebih spesifik (area penambangan), kemudian membuat parit/ sumur uji dan mengambil sample serta analisa lab.
   
4.    Melakukan pemetaan geologi dan topografi, membuat parit/ sumur uji, pengeboran, mengambil sample dan analisa lab serta melakukan aktivitas geoteknik dan geohidrology
   
5. Menganalisis peta geologi, membuat desain tambang, analisa dampak lingkungan,melakukan pendekatan geoteknik dan geohidrology, mempelajari karakteristik masyarakat,
    membuat perkiraan biaya, mengidentifikasi ketersediaan cadangan dan proses produksi,membuat desain dan perencanaan operasi produksi.
   
6. Melakukan aktivitas OB removal & blasting yang mencakup land clearing, pumping, ripping,blasting, digging, loading
   
7. Melakukan aktivitas coal mining yang mencakupi cleaning dan coal getting

8. Hasil dari aktivitas coal mining yang selanjutnya akan dibawa ke stockpile adalah ROM (Run-of-Mine)coal, memastikan ROM hauling to stockpile.
       
9.    Setibanya di stockpile, selanjutnya melakukan coal processing yang mencakup ROM    weighing/ scaling, ROM stocking, coal crushing dan coal washing.

10. Hasil dari aktivitas coal crushing dan coal washing sudah tidak lagi dinamakan ROM tetapi sudah menjadi product yang siap untuk di stok di mine stockyard kemudian dilakukan
    weighing/ scaling sebelumnya nantinya dibawa ke pelabuhan (port), coal hauling to port   
   
11. Sebelum memasuki area port akan dilakukan coal separation/ proses QA terhadap batubara yang telah berupa produk, proses QA berjalan efektif maka selanjutnya batubara di stok di
    tempat yang dinamakan port stockyard, kemudian siap untuk diproses penjualannya apakah    sampai dengan barge atau vessel.
   
12. Batubara dari stockpile port dialirkan menuju tongkang via conveyor darat terlebih dulu.

13. Batubara yang telah melalui conveyor darat selanjutnya akan melalui conveyor laut untuk    proses coal loading ke tongkang (barge loading).   
   
14. Apabila proses barge loading telah selesai, produk batubara kita kenal dengan coal barging dan apabila proses penjualan dilakukan sampai dengan vessel, proses selanjutnya coal
    barging loading ke vessel via floating crane.
   
15. Selesai


Diagram alur proses penambangan batubara:


Economic Quantity Order (EOQ)



Kuantitas Pemesanan Ekonomis (EOQ)
Menghindari kekurangan dan kelebihan persediaan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan produksi. Beberapa hal yang dianggap penting menurut Ahyari dalam bukunya efisiensi persediaan bahan (1999:48) yaitu : “waktu rata-rata yang diperlukan untuk memesan, pemakaian rata-rata dalam waktu rata-rata, biaya untuk menyimpan apabila ada persediaan yang berlebih, dan kerugian yang mungkin bila persediaan berkurang.”
Economic Order Quantity (EOQ) merupakan salah satu model manajemen persediaan, model EOQ digunakan untuk menentukan kuantitas pesanan persediaan yang dapat meminimalkan biaya penyimpanan dan biaya pemesanan persediaan. Economic Order Quantity (EOQ) adalah jumlah kuantitas barang yang dapat diperoleh dengan biaya yang minimal, atau sering dikatakan sebagai jumlah pembelian yang optimal.
Dalam kegiatan normal Model Economic Order Quantity memiliki beberapa karakteristik antara lain :
a.       jumlah barang yang dipesan pada setiap pemesanan selalu konstan,
b.     permintaan konsumen, biaya pemesanan, biaya transportasi dan waktu antara pemesanan barang sampai barang tersebut dikirim dapat diketahui secara pasti, dan bersifat konstan,
c.      harga per unit barang adalah konstan dan tidak mempengaruhi jumlah barang yang akan dipesan nantinya, dengan asumsi ini maka harga beli menjadi tidak relevan untuk menghitung EOQ, karena ditakutkan pada nantinya harga barang akan ikut dipertimbangkan dalam pemesanan barang,
d.      pada saat pemesanan barang, tidak terjadi kehabisan barang atau back order yang menyebabkan perhitungan menjadi tidak tepat.  Oleh karena itu, manajemen harus menjaga jumlah pemesanan agar tidak terjadi kehabisan barang,
e.       pada saat penentuan jumlah pemesanan barang kita tidak boleh mempertimbangkan biaya kualitas barang,
f.        biaya penyimpanan per unit pertahun konstan.

Besarnya EOQ dapat ditentukan dengan berbagai cara, menurut Hansen dan Mowen (2005:472) Economic Order Quantity akan menentukan jumlah pesanan persediaan yang meminimumkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan.

Rumus  EOQ :
EOQ  =     
   
TC     =          D x C +   x S +   x H

TC     =          Total biaya pemesanan dan biaya penyimpanan  
D       =          Jumlah (dalam unit) yang dibutuhkan selama satu periode tertentu,
                      misalnya satu tahun.
S        =          Biaya pesanan setiap kali pesan.
C       =          Harga pembelian per unit yang dibayar.
I         =          Biaya penyimpanan dan pemeliharaan digudang dinyatakan dalam
                      persentase dari nilai rata-rata dalam rupiah dari persediaan.
H       =          Biaya Penyimpanan per unit barang per tahun (Rp/unit/tahun)
      =          Jumlah (berapa kali) pesanan periode waktu (jumlah/pesanan/tahun)
      =          Persediaan rata-rata
            Dengan adanya hal diatas, maka persediaan pengaman merupakan suatu sarana pencegah terjadinya kekurangan persediaan. Persediaan pengaman yang paling optimal adalah jumlah yang menghasilkan biaya paling rendah dalam suatu periode.

Titik Pemesanan Ulang (Reorder Point/ROP)
Reorder Point ialah saat atau titik dimana harus diadakan pesanan lagi sedemikian rupa sehingga kedatangan atau penerimaan barang yang dipesan itu tepat pada waktu dimana persediaan diatas safety stock sama dengan nol. Dalam penentuan/penetapan Reorder Point haruslah kita memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
a.       penggunaan barang selama tenggang waktu mendapatkan barang (procurement lead time),
b.      besarnya safety stock.

Reorder Point dapat ditetapkan dengan berbagai cara, antara lain dengan :
1)      menetapkan jumlah penggunaan selama lead time dan ditambah dengan persentase tertentu. Misalnya ditetapkan bahwa safety stock sebesar 50% dari penggunaan selama lead time dan dtetapkan bahwa lead timenya adalah 6 hari, sedangkan kebutuhan barang setiap harinya adalah 3 unit/hari.
ROP          =    (6 x 3) + 50% (6 x 3)
                        =    18 +  9
                        =    27 unit,
2)      dengan menetapkan penggunaan selama lead time dan ditambah dengan penggunaan selama periode tertentu sebagai safety stock, misalkan kebutuhan selama 4 hari.
ROP          =    (6 x 3)  +  (4 x 3)
                        =    18  +  12
                        =    30 unit
Dari contoh yang terakhir ini dapatlah dikatakan bahwa “reorder point”-nya adalah pada jumlah 30 unit, ini berarti bahwa pesanan harus dilakukan pada waktu jumlah persediaan tinggal 30 unit.

Penentuan Pemesanan Persediaan Barang Dagangan dengan Metode  Economic Order Quantity (EOQ)
Pada bagian ini akan dibahas mengenai perhitungan persediaan barang dagangan dengan Metode Economic Order Quantity (EOQ) yang dapat meminimalkan biaya persediaan nantinya untuk barang Pepsi Cola.
a.       Penentuan Pemesanan Persediaan Barang dagangan dengan Metode EOQ terhadap Pepsi Cola.
Perhitungan Kuantitas Pesanan Ekonomis (EOQ) Pepsi Cola adalah ;
Jumlah penggunaan Pepsi Cola selama 1 tahun                   =    1100 BIB
BIB adalah Bag In the Box  (1 BIB  =  23,55 kg)
Biaya pemesanan setiap kali pesan                                     =   Rp.   4.625,-
Harga pembelian per unit yang dibayar                              =   Rp. 70.650,-
Biaya penyimpanan setiap tahunnya (70.650 x 25%)          =   Rp. 17.662,5,-
Diketahui ;
D         =          1100 BIB
S          =          Rp.   4.625,-
C         =          Rp. 70.650,-
H         =          Rp. 17.662,5,-  (70.650 x 25%)
Jawaban ;         EOQ    =                  
EOQ    =          
                                    =                         =             BIB
Pemesanan Pepsi Cola dalam 1 tahun :       =        45,8     =         kali
          Total biaya pemesanan dan biaya penyimpanan Pepsi Cola yang paling ekonomis yang dibutuhkan dalam 1 tahun adalah :
TC     =          D x C +   x S +   x H
TC24   =          (1100 x 70.650)  +    x 4.625  +    x 17.662,5
          =          Rp. 77.715.000  +  Rp. 211.979  +  Rp. 211.950
          =          Rp.                 
          Ini berarti, cara pemesanan yang paling ekonomis ialah pemesanan Pepsi Cola sebanyak 24 BIB setiap kali pesan, yang ini berarti bahwa kebutuhan akan Pepsi Cola sebanyak 1100 BIB selama 1 tahun akan dipenuhi dengan 46 kali pesanan dengan jumlah pesanan 24 BIB. Pada jumlah pesanan inilah tercapainya biaya pemesanan dan biaya penyimpanan yang minimal.
          Dari hasil perhitungan diatas penulis akan mencoba menganalisa hasil perhitungannya, apakah total biaya persediaan tersebut merupakan biaya yang paling rendah, apabila setiap kali pesan jumlah persediaan Pepsi Cola yang dipesan di bawah atau diatas EOQ (24 BIB).
Jika, Perhitungan TC pada pemesanan Pepsi Cola =  20 BIB
TC20   =          (1100 x 70.650)  +    x 4.625  +    x 17.662,5
          =          Rp. 77.715.000  +  Rp. 254.375  +  Rp. 176.625
          =          Rp. 

Jika, Perhitungan TC pada pemesanan Pepsi Cola =  27 BIB
TC27   =          (1100 x 70.650)  +    x 4.625  +    x 17.662,5
          =          Rp. 77.715.000  +  Rp. 188.426  +  Rp. 238.444
          =          Rp. 
          Dari data diatas, terlihat bahwa perhitungan pesanan persediaan barang dengan menggunakan metode Economic Order Quantity (EOQ) akan meminimalkan pengeluaran biaya penyimpanan dan biaya pemesanan. Total biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan barang juga dapat digunakan seefisien mungkin dan menghindarkan terjadinya persediaan yang menumpuk dan mengantisipasi kekurangan persediaan. Dari contoh Pepsi Cola diatas, total biaya pada pesanan 20 BIB Rp. 78.146.000,- lebih rendah Rp. 7.071,- (Rp. 78.146.000  -  Rp. 78.138.929) dari total biaya pada pesanan 27 BIB  Rp. 78.141.870,-  juga lebih rendah Rp. 2.941,-  (Rp. 78.141.870  -  Rp. 78.138.929). Artinya bahwa  jumlah pesanan sebanyak 24 BIB dan dengan 46 kali pesanan dalam 1 tahun dengan total biaya pemesanan dan biaya penyimpanan persediaan sebesar Rp. 78.138.929,-  akan meminimalkan biaya – biaya persediaan, dimana barang yang dipesan sesuai dengan kebutuhan operasional perusahaan.

Penentuan Titik Pemesanan Ulang (Reorder Point) Persediaan Barang Dagangan
Dilihat dari contoh masalah pada PT. FastFood Indonesia cabang Medan, diketahui juga bahwa permintaan persediaan Pepsi Cola setiap penggunaannya di asumsikan 3 BIB dan waktu tunggunya adalah 5 hari, maka titik pemesanan ulangnya dapat ditentukan yaitu :
d          =  3 BIB
L          =  5 hari

Reorder Point dapat ditetapkan dengan berbagai cara, antara lain dengan :
a.       menetapkan jumlah penggunaan selama lead time dan ditambah dengan persentase tertentu. Misalnya ditetapkan bahwa safety stock sebesar 60% dari penggunaan selama lead time dan dtetapkan bahwa lead timenya adalah 5 hari, sedangkan kebutuhan barang setiap harinya adalah 3 BIB/hari.
ROP          =    (5 x 3) + 60% (5 x 3)
                        =    15 +  9
                        =    24 BIB

b.      dengan menetapkan penggunaan selama lead time dan ditambah dengan penggunaan selama periode tertentu sebagai safety stock, misalkan kebutuhan selama 4 hari,
ROP          =    (5 x 3)  +  (4 x 3)
                        =    15  +  12
                        =    27 BIB

Dari contoh yang terakhir ini dapatlah dikatakan bahwa “reorder point”-nya adalah pada jumlah 27 BIB, ini berarti bahwa pesanan harus dilakukan pada waktu jumlah persediaan tinggal 27 BIB. Untuk titik pemesanan ulang atau Reorder Point seperti pembahasan diatas yaitu pada saat Pepsi Cola tinggal 27 BIB artinya adalah pesanan persediaan barang akan dilakukan kembali ketika tingkat persediaan Pepsi Cola tersisa 27 BIB.

Manajemen Persediaan dan Resiko
Manajemen persediaan digambarkan sebagai proses untuk mengelola jumlah barang yang disimpan untuk menunjang usaha atau bisnis yang digerakkan. Idealnya suatu sistem manajemen persediaan bisa berada dalam tingkat paling ekonomis tanpa adanya potensi resiko pada perusahaan. Resiko yang dimunculkan akibat adanya persediaan adalah biaya persediaankerusakan barangkehilangan barang serta space untuk penyimpanan barang. Jika meninjau komponen resiko tadi, bisa dibayangkan bahwa manajemen persediaan yang tepat adalah mata rantai dalam supply chain management yang cukup vital.
Jika mengambil contoh pada resiko biaya persediaan, maka harus dicermati jumlah pembelian berada pada tingkat yang memenuhi permintaan dengan selisih yang mendekati 0 (Zero Inventory). Jika permintaan berada pada angka 200 setiap minggu dan gudang membeli sejumlah 800, maka dibutuhkan 4 minggu untuk menghabiskan persediaan. Dalam tingkat penjualan 200 maka gudang sudah menghabiskan biaya sejumlah 800. Yang disarankan adalah memiliki persediaan ‘mendekati’ 200, atau bahkan dalam 1 minggu bisa memesan 2 kali atau beberapa kali pun untuk memenuhi angka permintaan 200. Variable ini bisa lebih unik lagi jika memasukkan faktor Term Of Payment kepada supplier yang lebih panjang dari Selling Point.
Resiko kerusakan, kehilangan dan biaya space adalah biaya-biaya lain yang merugikan perusahaan. Kerusakan dan kehilangan muncul karena handling, operasional dan administrasi gudang yang tertata baik. Biaya space untuk penyimpanan adalah biaya yang hilang karena menyimpan barang di saat space itu lebih tepat digunakan untuk input lain yang lebih mempengaruhi tingkat output. Dari gambaran singkat mengenai resiko persediaan, maka bisa dipastikan bahwa memiliki sistem manajemen persediaan yang baik akan menghindarkan (atau paling tidak meminimalisir) perusahaan dari sejumlah resiko biaya.

Mengelola Resiko
Pendapat saya mengenai manajemen persediaan adalah mengelola resiko yang akan muncul akibat adanya ketidaksesuaian persediaan dengan kebutuhan. Suatu tantangan bagi pekerja di logistik untuk mengelola munculnya resiko-resiko tadi, kata mengelola saya coba pakai karena untuk benar-benar menghilangkan resiko dalam prinsip manajemen persediaan diperlukan adanya ‘nilai’ dari mata rantai lain yang cukup sulit dikendalikan atau dalam supply chain management, mata rantai ini bisa dikatakan mata rantai yang lemah.
Bagian dari mata rantai manajemen persediaan untuk mengelola resiko adalah ketika manajemen persediaan dapat menyediakan jumlah barang pada waktu, jumlah, kualitas yang tepat pada tingkat harga / biaya yang paling ekonomis. Ketika duduk di bangku perkuliahan, lazim dipakai istilah Economic Order Quantity (EOQ) yang menjelaskan rumus / logika mengelola persediaan pada jumlah yang paling ekonomis. Sayang sekali jika EOQharus dikubur dalam-dalam atau paling tidak membutuhkan sejumlah penyesuaian jika ingin dipakai dalam mengelola persediaan di dunia kerja yang memiliki variable kompleks.
Untuk itu, dalam mengelola resiko dengan megelola persediaan sangat terkait dengan karakteristik industri / usaha masing-masing. Meski begitu prinsip-prinsip umum dapat menjadi batasan untuk memiliki manajemen persediaan yang tepat. Berikut beberapa prinsip-prinsip umum untuk manajemen persediaan :
  1. Persediaan dapat memenuhi permintaan serta tersedia buffer / penyangga pada tingkat tertentu.
  2. Tersedia nya suatu sistem (baik menggunakan Warehouse Management Systems atau pencatatan manual / ms. excel) yang memungkinkan untuk penghitungan stock dan pemesanan ke supplier.
  3. Adanya rumus untuk menghitung persediaan plus buffer yang dinyatakan di point no 1, lazimnya faktor-faktor yang diperhitungkan oleh rumus adalah : Average permintaan dalam periode tertentu, lonjakan permintaan beberapa periode terakhir, waktu tunggu dari supplier. Rumus nya sendiri bisa bermacam-macam, saya pernah sedikit mengulasnya pada tulisan saya Tingkat Persediaan [Ekonomis] Logistik
  4. Mengelola dengan tepat faktor waktu / tempo pembayaran ke supplier dengan waktu / tempo revenue yang dihasilkan oleh aktifitas persediaan. Istilah yang lazim di sini adalah Inventory Days / Day Sales Inventory / Inventory Turn Over (Saya agak lupa, semoga ke-3 istilah itu sama artinya) yang merupakan hari persediaan dan menggambarkan waktu yang dibutuhkan sampai barang tersebut keluar dan bisa ditagihkan (bahasaokem nya menjadi ‘duit’). Pembandingnya adalah Term of Payment atau jatuh tempo pembayaran kepada supplier. Sebisa mungkin sebelum membayar, persediaan sudah menjadi uang. Saya ingat dosen mata kuliah Manajemen Keuangan pernah mengajarkan bahwa tukang pisang goreng memiliki perputaran persediaan yang sangat baik, “Pagi belanja, Sore sudah bisa menjadi ‘duit’” begitu kata dosen saya dulu.
Strategi Manajemen Persediaan
Setelah membahas mengenai prinsip umum dalam manajemen persediaan dimana penggunaan nya bisa terdiferensiasi kepada beberapa hal yang sangat spesifik dengan industri yang dijalankan, ada sedikit ulasan mengenai strategi manajemen persediaan.Strategi yang saya coba angkat adalah penggunaan-penggunaan prinsip lebih lanjut mengenai manajemen persediaan dan biasanya terkait dengan kondisi diproyeksikan.
Strategi manajemen persediaan ini membutuhkan adanya satu perangkat Decision Support System / Sistem Pendukung Keputusan yang akan memberikan analisa yang lengkap dan bisa dijadikan dasar untuk strategi perusahaan. Dalam lingkup manajemen strategik, maka manajemen persediaan adalah strategy pada level divisi yang harus mendukung strategy dari coorporate secara keseluruhan. Misalkan : Strategi coorporate adalah memenuhi tingkat pengadaaan barang di pasaran sesuai dengan keinginan konsumen. Manajemen persediaan sudah bisa mengimplementasikan dengan menaikkan tingkat persediaan (mungkin seperti pull method), tentunya strategy ini ‘sedikit’ mengesampingkan faktor biaya atau istilah nya with all cost. 
Contoh strategi lain adalah  dalam mengelola beberapa karakteristik barang dengan variable :
Margin (tinggi -rendah), Volume (besar-kecil), Sales (tinggi-rendah), Kerusakan (tinggi-rendah), Value lain yang mempengaruhi (Tinggi-Rendah)
Variabel tadi akan saling berinteraksi dan bussines divisional strategy yang tepat dari manajer lini pertama perlu mendefinisikan strategy manajemen persediaan apakah yang akan dipakai?  Semisal : Dengan tingkat keuntungan yang sama, suatu perusahaan akan berfokus pada barang yang memiliki margin besar namun sales kecil, ketimbang margin rendah namu sales besar. Trade off ini diperhitungkan dari perbedaan besarnya effort yang dikeluarkan oleh bagian operasional, tentunya net margin yang dihasilkan harus minimal sama atau lebih tinggi. Dapat dibayangkan kompleksitas yang diperhitungkan untuk mengambil kebijakan manajemen persediaan, kompleksitas ini juga menyimpulkan bahwa Sistem Pendukung Keputusan memainkan peranan yang cukup penting.

Decision Support Systems
DSS atau Sistem Pendukung Keputusan dalam manajemen persediaan merupakan hal penting yang sering ‘disederhanakan’ oleh para pengambil keputusan. Perusahaan besar saat ini sudah menempatkan level ahli ‘Inventory Analyst’  atau ‘Planner’ dalam posisi yang cukup penting dan berkontribusi besar pada keputusan perusahaan. Investasi lain dalam bentuk database yang terintegrasi juga telah banyak dipakai. Hal ini dikarenakan perusahaan menginginkan adanya satu analisis komprehensif dan akurat dengan menggunakan data se-aktual mungkin.
Salah satu contoh dalam kekuatan perusahaan yang memiliki Analyst / Planner dalam sistem manajemen persediaannya adalah ketika melakukan analisa Inventory Days setiap SKU yang disimpan. Melalui analisa tersebut dapat diidentifikasi SKU yang menyumbang kontribusi untuk perusahaan, serta ada juga SKU yang justru merugikan untuk perusahaan. SKU yang merugikan bisa dilihat dari sudut perputaran rendah, kerusakan tinggi, pemakaian space besar, dan hal-hal semacam nya yang memunculkan biaya untuk perusahaan di saat SKU tersebut tidak menyumbang revenue.
Beberapa kali level Analyst / Planner’ sering disepelekan, karena ketidakmampuan mengabsorb kondisi lapangan yang riil. Sering juga perhitungan di atas kertas itu akhirnya dicampakkan dan tidak dipakai oleh mentahnya asumsi yang diambil. Hal ini adalah tantangan bagi Analyst / Planner untuk meyakinkan partner atau kolega mereka kepada analisa yang dibuat.
Sistem pendukung keputusan lainnya adalah software / database management. Software dasar tentunya adalah Ms. Excel yang digunakan untuk perhitungan. Software lainnya adalah Ms Visio untuk memodelkan atau memvisualisasi analisa-analisa yang diambil. Sistem pendukung keputusan bisa dalam bentuk database management system yang dipakai perusahaan, semisal : Foxbase, Oracle, dll. Saya kurang paham mendetail mengenai hal ini, namun setahu saya dalam struktur database tadi bisa dibuat program kecil untuk mengeluarkan hasil perhitungan yang sesuai dengan keinginan user. Misalkan mengeluarkan data barang yang memiliki rasio perputaran paling tinggi, menghitung seluruh persediaan dibagi dengan sales, melakukan replenishment otomatis dengan memberi indikator tertentu, dan masih banyak fungsi lainnya.

Istilah 
Akhir tulisan ini saya coba menuliskan beberapa daftar istilah yang biasa muncul, ini benar-benar dari pengalaman saja dan kemungkinan pemahaman saya juga sedikit ‘melenceng’ atau berbeda, monggo jika ada yang mau memperbaiki :)
Reorder point, titik dimana pengambil keputusan harus melakukan pemesanan barang ke pemasok. Jika satu SKU mencapai jumlah tertentu, maka gudang harus melakukan pemesanan barang untuk mengantisipasi permintaan di kemudian hari, jika tidak dilakukan maka akan resiko nya adalah gudang tidak mampu memenuhi permintaan barang. Sederhananya : Jika rata-rata permintaan 10 dan waktu tunggu dari supplier adalah 2 hari, maka (jika tidak menghitung buffer) reorder point adalah 20. Jika stock sudah mencapai 10, maka gudang harus melakukan pemesanan barang.
Average permintaan, adalah rata-rata historis permintaan suatu periode tertentu, biasanya dalam periode waktu kira-kira 3 bulan untuk mengabsorb lonjakan-lonjakan yang terjadi selama periode tersebut. Digunakan untuk menjadi dasar permintaan di masa mendatang.
Buffer Stock, Angka atau jumlah yang digunakan untuk mengantisipasi adanya lonjakan permintaan. Bisa dikatakan idealnya minimum stock gudang adalah Average Permintaan + Buffer
Uncertainty, Keadaan tidak pasti dari pasar yang harus diantisipasi atau disiasati dengan sistem manajemen persediaan. Semisal pemasok yang tidak konsisten sementara barang di pasar tinggi permintaannya. Pengelolaan terhadap ketidakpastian ini bisa menjadi kunci keberhasilan perusahaan untuk melakukan penetrasi pasar. Ketidakpastian lain adalah permintaan pengecer tradisional yang fluktuatif.
Seasonal, Kondisi permintaan musiman. Misalkan musim liburan anak-anak, maka akan ada trend sejumlah barang tertentu yang harus disediakan dalam jumlah lebih besar daripada biasanya. Kemampuan menghitung hal ini diperlukan rentang data masa lalu yang cukup panjang, pemahaman kondisi pasar, perkembangan kompetitor, inflasi, trend belanja, dll. Saya pernah melihat bahwa kondisi seasonal ini menyumbang angka penjualan yang sangat besar dan momen ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pengecer.
Inventory Days, Hari persediaan yang merupakan jumlah stock dibagi rata-rata permintaan. Angka ini harus berada pada angka seminim mungkin dengan tingkat potensi loss sales yang paling rendah pula. Biasanya kesulitan terletak dari konsistensi pemasok dalam menyuplai jumlah barang yang diminta.
Nah, kira-kira itu tadi yang saya ketahui tentang Sistem Manajemen Persediaan Gudang. Memang masih sedikit dan mungkin agak kurang matang, tetapi kurang lebih di 2-3 perusahaan yang saya lalui di bidang logistik selalu berada pada koridor-koridor di atas.